Berita
Tantangan Zaman dan Kampus Merdeka Buat Mahasiswa
- 8 April 2021
- Posted by: webmaster
- Category: artikel widuri

Sejak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengumumkan mengenai konsep Kampus Merdeka, Merdeka Belajar, terjadi perdebatan antara yang pro dan kontra. Perbedaan pendapat itu muncul pada semua level, baik di kalangan mahasiswa, para dosen maupun tenaga kependidikan di perguruan tinggi. Penyebab setuju atau tidak setujunya pun beragam dengan didukung argumen masing-masing. Namun, apakah perdebatan tersebut didasari oleh pemahaman yang memadai mengenai konsep ini? Atau mereka belum paham betul dengan konsep ini sehingga menyatakan ketidaksetujuannya? Hal ini penting untuk diajukan agar kita dapat memahami duduk persoalannya tanpa membuang-buang waktu untuk sebuah debat kusir yang panjang.
Secara umum, ada empat kebijakan Kampus Merdeka. Pertama, pemberian kewenangan penuh perguruan tinggi untuk mendirikan program studi (prodi) baru. Kedua, proses reakreditasi secara otomatis. Ketiga, mempermudah proses peralihan status Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTNBLU) menjadi PTN Badan Hukum (PTNBH). Keempat, kebebasan mahasiswa untuk belajar di luar prodinya dan atau di luar kampusnya. Harus kita akui, sebagian kita hanya mendengar keempat hal tersebut secara sepintas lalu terlibat perdebatan mengenai poin-poin tersebut.
Berorientasi Pasar?
Sebagai dosen, penulis ingin menyoroti mengenai kebijakan keempat yang terkait langsung dengan aktivitas akademik mahasiswa, dosen dan tenaga kependidikan (tendik) setiap hari. Ada yang mengkritik bahwa kebijakan ini merupakan suatu cara untuk menciptakan tenaga kerja murah dari level sarjana S-1, hanya berorientasi pasar dan tidak menyisakan ruang bagi mahasiswa yang ingin menjadi peneliti atau mengembangkan keilmuannya. Kritik tersebut tidak sepenuhnya benar. Jika kita membaca isi buku pedoman Merdeka Belajar setebal 42 halaman yang dikeluarkan oleh Kemendikbud, kita akan mengetahui secara detail yang dimaksudkan dengan poin nomor empat tersebut. Dalam buku panduan itu kita akan menemukan bahwa minat mahasiswa lebih diarahkan untuk dicapai dengan program Merdeka Belajar ini. Ada delapan bentuk kegiatan pembelajaran dalam Merdeka Belajar di kampus, yaitu (1) Pertukaran pelajar; (2) Magang/praktik kerja; (3) Asistensi mengajar di satuan pendidikan; (4) Penelitian/riset; (5) Proyek kemanusiaan; (6) Kegiatan wirausaha; (7) Studi/proyek independen; (8) Membangun desa/kuliah kerja nyata tematik. Kedelapan kegiatan pembelajaran ini bisa dipilih secara bebas oleh mahasiswa sesuai dengan minat (passion) masing-masing.
Artinya, kegiatan Merdeka Belajar ini justru membantu mahasiswa dan kampusnya agar bisa memenuhi impian sang mahasiswa saat dirinya melaksanakan kegiatan perkuliahan di kampus. Mungkin, sebagian mahasiswa tidak tahu dirinya ingin menjadi apa atau mau bagaimana, saat awal masuk kampus.
Namun seiring perkembangan waktu, mahasiswa akan “dipaksa” menentukan pilihannya terkait minatnya dalam belajar. Mahasiswa juga “dipaksa” untuk merancang masa depannya sejak di kampus dan bukan ‘bagaimana nanti saja setelah lulus’ seperti yang selama ini banyak dialami mahasiswa. Program Merdeka Belajar ini mengarahkan mahasiswa agar ia lebih fokus dalam belajar karena dialah yang menentukan akan menjadi apa setelah lulus nanti. Seandainya dia ingin bekerja di perusahaan, dia akan memilih program magang di perusahaan sembari melengkapi mata kuliah yang diperlukannya, dengan mengikuti perkuliahan di prodi atau kampus lain. Bagi mahasiswa yang ternyata memiliki minat mengajar, ia akan memilih bentuk kegiatan pembelajaran berupa asistensi mengajar di satuan pendidikan. Begitu pula bagi mahasiswa yang lebih suka menjadi pengusaha saat nanti kelak lulus, ia bisa merintisnya dengan memilih kegiatan pembelajaran wirausaha. Program Merdeka Belajar ini juga perlu dipahami dengan hati yang terbuka oleh semua civitas akademika. Kemerdekaan yang diberikan bukanlah merdeka sebebas-bebasnya karena tetap ada batasan yang harus diikuti. Membaca buku panduan yang memberikan penjelasan detail dan teknis mengenai hal tersebut akan membantu kita lebih memahami program ini.
Siap Berubah
Yang menjadi tantangan kemudian adalah, mampukah perguruan tinggi, para dosen dan tendik sekaligus mahasiswanya berubah? Program Merdeka Belajar tidak akan bisa diterapkan jika kampus dan isinya tidak berubah. Perubahan yang diperlukan mulai dari pola pikir, cara bertindak dan cara mengambil keputusan. Pertanyaan mendasarnya adalah, sudah siapkah?
Mahasiswa misalnya, apakah ia sanggup berubah, tak sekadar hanya ke kampus, duduk mendengarkan penjelasan dosen, mengisi daftar kehadiran lalu pulang. Mahasiswa harus mulai memupuk rasa ingin tahu yang lebih besar, memiliki keterikatan lebih kuat dengan program studi yang diambilnya serta menentukan peta jalan (roadmap) masa depannya. Hal ini penting sebab tantangan zaman semakin hari semakin berat. Jika kita tidak berubah, kita akan tertinggal bahkan mungkin terlindas. Perubahan pola pikir dan tindakan mahasiswa ini akan berdampak pada perubahan pola komunikasi, pola bimbingan dan pengajaran yang dilakukan oleh dosen. Peran dosen justru semakin besar, bukan dalam hal mengajar di kelas, tetapi memberikan bimbingan dan konsultasi bagi para mahasiswanya. Mahasiswa dituntut untuk lebih aktif mencari dan bertanya, salah satunya kepada para dosennya. Sudah siapkah para dosen berubah atau tepatnya bertambah peran?
Selama ini para dosen disibukkan untuk memenuhi tugas tri dharma perguruan tinggi dengan kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat selain mengajar. Dengan program Merdeka Belajar ini, kesibukan mengajar para dosen mungkin menurun tetapi aktivitas konseling dan menjalin komunikasi dengan pihak ketiga (mitra) akan meningkat. Hal ini akan memerlukan waktu khusus sekaligus keahlian yang berbeda dibandingkan sebelumnya. Sekali lagi, siapkah para dosen?
Di sisi lain, perubahan-perubahan ini harus digerakkan oleh pimpinan kampus dengan membuat kebijakan atau aturan yang mendukung. Rektor dan jajaran universitas tidak bisa tinggal diam atau menyerahkan keputusan di level fakultas atau prodi. Bagaimanapun, diperlukan payung hukum yang bisa menjadi pendorong kegiatan ini secara menyeluruh. Jika komitmen ini sudah ada, langkah berikutnya adalah sosialisasi yang intens. Pemahaman mengenai bentuk-bentuk kegiatan belajar dan implementasinya perlu ditanamkan secara integral, bukan sepotong-potong, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Kendala implementasi
Ada keluhan yang muncul atas penerapan program Merdeka Belajar ini, seperti kesulitan bagi prodi/fakultas untuk menentukan angka kredit, membangun relasi yang baik dengan mitra atau konsorsium kurikulum serta membayangkan kerepotan saat menerima mahasiswa dari luar prodi atau kampus. Secara makro, kebijakan ini sangat baik dan berorientasi masa depan. Namun secara mikro, banyak hal teknis yang mungkin njlimet sehingga sulit diterapkan.
Solusinya memang tidak bisa instan karena ini bukanlah gerakan yang bisa dilakukan segera. Solusi yang mungkin dilakukan adalah kampus melakukan perubahan secara bertahap. Kesediaan untuk berubah, menjadi poin penting.
Langkah selanjutnya, kesediaan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan itu sendiri. Tindakan selanjutnya adalah keberanian untuk menerapkan aturan baru ini, meskipun mungkin tidak sempurna. Namun, jika tidak dicoba, kapan akan bisa diterapkan?
Pada tahap awal, kemungkinan ada kendala atau bahkan kekeliruan tetapi hal tersebut bisa diperbaiki secara perlahan. Penyempurnaan memerlukan waktu sekaligus kesediaan untuk mengalami kesalahan. Apakah ini berarti tahun awal akan merupakan tahun percobaan? Apakah ini adil bagi mahasiswa yang mengalaminya? Jawabannya, pada tahap awal, karena masih percobaan maka toleransinya pun masih tinggi.
Dengan demikian, proses ini diharapkan tidak merugikan pihak manapun karena semuanya masih dalam proses ke arah yang lebih baik. Jika langkah-langkah ini konsisten dilakukan, insya Allah hasilnya akan berbeda.
Sebagai sebuah proses, kita memang tidak akan melihat hasilnya segera. Namun setidaknya, kita tahu bahwa kita sedang melangkah sebagai bagian dari ikhtiar yang lebih baik bagi pendidikan generasi mendatang.