Berita
Program Kampus Merdeka dan Pentingnya Kombinasi Disiplin Ilmu Menurut Nadiem
- 3 June 2021
- Posted by: webmaster
- Category: artikel widuri
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Menristekdibud) Nadiem Makarim menuturkan, mahasiswa perlu penguasaan kombinasi disiplin ilmu ketika menekuni sebuah profesi. Program Kampus Merdeka memungkinkan mahasiswa belajar di luar prodi dan mendapat pendidikan lintas disiplin ilmu.
Adapun rumpun ilmu yang digabungkan dapat melahirkan karya yang unik dan inovatif. Hal ini tidak hanya berdampak pada sang mahasiswa, tetapi juga untuk industri, dan untuk masyarakat Indonesia.
Hal ini disampaikan Nadiem dalam pos cuplikan Merdeka Belajar episode 2 di akun Instagram resmi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Nadiem mengatakan, hampir semua profesi saat ini menuntut ilmu lintas disiplin.
“Apa profesi zaman sekarang yang menggunakan satu rumpun ilmu? Hampir tidak ada. Semua profesi di dunia nyata itu membutuhkan kombinasi dari beberapa disiplin ilmu,” kata Nadiem.
Ia mencontohkan, insinyur membutuhkan ilmu teknik sebagai ilmu dasar dan ilmu desain sebagai ilmu pembeda. “Mengerti bagaimana orang akan menggunakan produk (buatan) dia, menggunakan mesin (buatan) dia,” kata Nadiem.
Ia menuturkan, hal ini juga berlaku untuk berbagai profesi lain, seperti pengacara, sutradara film, dan arsitek.
“Bagaimana (mau) menjadi corporate laywer yang baik kalau tidak menguasai corporate financial literacy. Bagaimana menjadi sutradara tetapi tidak bisa memasarkannya ke berbagai pendanaan, produser, lewat channel online, digital, OTT, dan TV, dan lain-lain?” katanya.
Nadiem menuturkan, belajar di luar prodi punya potensi berdampak paling cepat dalam membangun mahasiswa. Sebab, jarak waktu kelulusan seorang mahasiswa dan waktu masuk ke dunia nyata kerja, wirausaha, dan kemasyarakatan sangat dekat dibandingkan dengan jenjang pendidikan lain.
“Harus adaptif. Namun situasi hari ini tidak seperti itu. Inovasi ini hanya bisa dilakukan jika ruang gerak tidak dibatasi dan ekosistem tidak dibatasi,” kata Nadiem, seperti dikutip dari Merdeka Belajar episode 2: Kampus Merdeka di kanal Youtube Kemendikbud RI.
Program Kampus Merdeka untuk dukung belajar lintas prodi.
Nadiem menuturkan, Kemenristekdibud menerapkan kebijakan program Kampus Merdeka untuk memungkinkan mahasiwa mendapat pengalaman belajar dan berkarya di luar prodi yang dijalani di kampus.
Nadiem menjelaskan, program Kampus Merdeka menerapkan hak mahasiswa untuk belajar tiga semester di luar program studi. Di antara 3 semester tersebut, mahasiswa berhak untuk belajar di luar kampus selama 2 semester atau setara 40 SKS. Ia menambahkan, adapun program, project, atau magang yang dilakukan di luar prodi bisa dikonversikan ke SKS dan tidak menghalangi proses kuliah keseluruhan.
“Hal ini diterapkan tidak hanya untuk memastikan bahwa lulusan-lulusan kita bisa berkarir sesuai dengan minat mereka, namun juga terbekali dengan kombinasi disiplin ilmu yang memang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan industri kerja yang semakin granular,” kata Nadiem.
Nadiem menggarisbawahi, mahasiswa yang ingin tetap belajar penuh di dalam prodinya dipersilakan untuk melanjutkan hak belajar di prodinya. Kendati demikian, pemberian hak mahasiswa untuk belajar di luar prodi selama 3 semester menjadi kewajiban perguruan tinggi.
“Ini hanya opsi untuk mahasiswa, tetapi adalah sebuah kewajiban bagi perguruan tinggi untuk memberikan hak mahasiswa ini, kebebasan untuk memilih (belajar disiplin ilmu lain) maksimal 3 semester. Dari 3 semester itu, 2 semester harus diberikan jaminan hak di luar kampus, di laut terbuka, open water,” kata Nadiem.
Adapun kebijakan ini tidak berlaku untuk mahasiswa bidang kesehatan seperti kedokteran.
“Satu exception adalah semua bidang kesehatan, mohon maaf tidak termasuk. Semua prodi lainnya, ketentuan ini berlaku,” tambahnya.
Nadiem mencontohkan, kegiatan di luar kampus yang bisa disetujui Kemendikbudristek dan rektor terkait yakni magang praktik kerja, mengajar di sekolah terpencil, membantu project riset dosen, membantu penelitian mahasiswa S3 (PhD), membuat proyek independent study, dan lain-lain.
“Bisa berkontribusi di desa, tukar belajar antar universitas, 1 tahun (belajar) abroad, dan entrepreneuship (dengan) membina startup. Jadi approval (kegiatan belajar di luar prodi oleh mahasiswa) ini dua pihak yang lakukan (approval), rektor dan Kementerian,” tambahnya.
Belajar di luar prodi untuk diri sendiri dan masyarakat
Nadiem menuturkan, belajar di luar prodi tidak hanya bermanfaat untuk mahasiswa, namun juga masyarakat. Ia mencontohkan, penerapan hak belajar 3 semester di luar prodi ini bisa berangkat dari KKN 2 bulan. Salah satunya seperti KKN-PPM mahasiswa UGM di Samber dan Binyeri, Biak, Papua.
Para mahasiswa UGM angkatan 2018 tersebut membuat program Sekolah Pantai untuk anak-anak setempat, membuat meja dan kursi untuk menghias pantai, dan membangun dermaga dari tengah laut ke bibir pantai. Praktik mahasiswa tersebut mendukung potensi alam dan laut setempat.
“Itu dua bulan. Bayangkan apa yang bisa dicapai dari 6 bulan, 1 tahun, mahasiswa terbaik dari seluruh indonesia bergotong royong membantu, belajar, dan berdampak sosial langsung memecahkan permasalahan, bukan teoritis, tetapi yang benar-benar ada. dan juga berinteraksi dengan berbagai macam adat, suku, sosioekonomi untuk memecahkan masalah yang riil,” kata Nadiem.
Ia mengatakan, pendidikan yang berfokus pada masalah ini sekaligus melakukan penguatan karakter mahasiswa untuk menjadi pemimpin masa depan.
“Alangkah powerful-nya mahasiswa kalau dikerahkan memecahkan masalah riil di luar situ. Itu esensi Kampus Merdeka dan dan merdeka belajar,” katanya.
Cara belajar di luar prodi: magang perusahaan hingga ikut riset dosen
Nadiem menuturkan, ada beberapa skema lainnya yang bisa diambil mahasiswa untuk belajar di luar prodi. Salah satunya yakni magang di startup 6 bulan. Setelah itu, mahasiswa lanjut mengajar SD di Sulawesi 6 bulan lagi, lalu lanjut riset terkait pengalaman mengajar sebelumnya dengan dosen favorit.
“Ada juga yang magang di bank, lanjut pertukaran pelajar di universitas di Singapura mengenai Banking atau Finance. Ada yang pertukaran pelajar di Australia, lalu jatuh cinta sama teknologi, lanjut rintis startup fintech rupanya kurang sukses, jd lanjut magang di startup fintech,” jelas Nadiem.
Nadiem menuturkan, harapannya, S1 dapat menjadi hasil gotong royong seluruh aspek masyarakat, termasuk masyarakat dan industri. “Ini memecahkan pemikiran bahwa pendidakan hanya kewajiban perguruan tinggi. Dan inilah yang akan memaksakan perbauran itu, memaksakan kontribusi masyarakat ke pendidikan Indonesia,” kata Nadiem.
“Perusahaan harus berlomba-lomba melakukan joint curriculum dengan universitas. Tahu bahwa internship bisa dilakukan 6 bulan-1 tahun, industri jadi ingin memasukkan anak-anak terbaik ke program management trainee mereka, dan lain-lain,” katanya.
Ia menambahkan, organisasi nirlaba kelas dunia dengan misi sosial dan misi SDGs, juga bisa bekerjasama meluncurkan program magang dan project di universitas.
Sejumlah perguruan tinggi kelas dunia juga saat ini tengah bekerja sama dengan perguruan tinggi dalam negeri untuk melakukan program pertukaran pelajar demi memenuhi hak mahasiswa belajar di luar prodi. Salah satu program pertukaran yang sedang berjalan yaitu Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA).
Nadiem menggarisbawahi, mahasiswa juga bisa kembali ke kampus setelah melaksanakan kegiatan belajar di luar prodi. Ia mengatakan, peraturan perihal belajar di luar prodi menjadi hak prerogatif rektor masing-masing kampus.
“(Ini cara) mengubah sistem S1 yang bisa benar-benar mempersiapkan mahasiswa kita berenang di laut terbuka, yaitu dunia nyata (di luar kampus),” kata Nadiem.