Berita
Mengapa Media Sosial Mengacaukan Kita ?
- 22 February 2021
- Posted by: webmaster
- Category: artikel widuri

Mengapresiasi niat mulia dari para pionir media sosial. Mereka ingin semua orang bisa mengenal dan berempati terhadap pemahaman yang lebih besar di seluruh negara, etnis, dan gaya hidup.
Mereka memimpikan gerakan global yang bersatu dan terhubung dengan satu kepentingan bersama untuk perdamaian dan kemakmuran. Mereka ingin umat manusia bisa terhubung tanpa terhambat waktu dan ruang; hanya dengan jaringan internet dan segala sesuatunya sudah ada di ujung jari kita.
Mereka berhasil. Mereka melakukannya. Media sosial mendatangkan banyak manfaat bagi kita dalam berbagai aspek.
Mari kita bicarakan sisi gelap dari media sosial. (Euh, tidak selebay itu juga sih). Karena biasanya, seseorang yang terperangkap dalam mimpi, penglihatan, dan harapan, mereka buta dengan efek samping dari semuanya.
Media sosial memberi kita informasi yang kita inginkan
Nah, yang ini cukup ironis. Sering kita mendapatkan informasi A di Facebook, dan lalu malah berbunyi B di Twitter dalam topik yang sama. Memang, media sosial adalah tempat yang sangat cocok untuk beropini. Dan karena itulah kita sulit membedakan antara fakta, opini, dan hoaks.
Media sosial, pada akhirnya, tidak dirancang untuk memberikan informasi yang dibutuhkan orang. Ini memberi orang informasi yang mereka inginkan.
Dan sayangnya, ada perbedaan besar di sini.
Misalnya, kita ingin percaya bahwa vaksin covid-19 tidaklah aman bagi semua orang sehingga kita punya alasan kuat untuk tidak ikut program vaksin.
Dan tanpa bertanya, Facebook dengan patuh menunjukkan kepada saya artikel yang memvalidasi keinginan tersebut. Setiap hari. Namun, ketika kita memaksakan diri untuk mengunjungi situs web demi melihat data jajak opini, menggali sumber utama dan melihat analogi historis, kita melihat bahwa itu mungkin tidak benar.
Fakta bahwa kita lebih senang diberi informasi yang membenarkan opini saya dan menghilangkan rasa tidak aman; itulah masalahnya. Sebab dengan menyuguhkan informasi yang membenarkan paradigma pengguna media sosial, mereka mendapatkan uang.
Mendistorsi persepsi realitas kita
Kebanyakan orang hanya mengunggh hal-hal yang indah saja di media sosial, misalnya sepatu baru, HP baru, pacar baru, selingkuhan baru, cafe baru, tas baru, rumah baru, wajah baru, darah-daging baru, dan seterusnya.
Hampir jarang sekali orang-orang yang mem-post kemalangan, kemiskinan, kecerobohan, atau kebodohan dalam hidupnya.
Sebenarnya ini adalah sebuah tragedi. Jika dulu kita hanya merasa iri kepada tetangga atau saudara. Sekarang dengan adanya media sosial, kita bisa merasa iri kepada seluruh dunia. Dan dengan remehnya kita mengeluh, “Dunia tidak adil!” Padahal, sejak kapan dunia harus menjadi adil?
Meningkatnya rasa haus akan perhatian
Sebenarnya wajar kalau kita butuh diperhatikan, toh manusia memang makhluk sosial. Tapi ini menjadi tidak wajar saat hasrat itu melebihi ambang batas. Dan media sosial menjadi fasilitatornya.
Karena postingan orang-orang di media sosial selalu diseleksi, maka media sosial tidak memberikan gambaran realitas hidup yang seimbang, tetapi cenderung ke hal-hal yang positif saja.
Ini membuat kita mengira standar hidup yang “normal” itu harus selalu indah, sempurna, harmonis, dan ketika harus berhadapan dengan kenyataan yang tidak enak sedikit, bagi kita ini sudah menjadi masalah besar.
Secara tidak sadar, kita telah menciptakan standar gaya hidup baru dengan kehadiran media sosial. Saat di Instagram sedang ramai tempat cafe tertentu, kita turut ingin ngopi di sana. Padahal di rumah biasa kopi sachet-an, tiba-tiba datang ke cafe yang bahkan tidak tahu cara memesannya.
Hal seperti itu membuat kita hidup tanpa pernah puas terhadap hidup atau penampilan kita. Karena jika seperti itu, kita menjalani hidup sesuai tren, dan yang namanya tren itu bersifat dinamis.
Kehadiran media sosial telah melahirkan sebuah pemujaan baru yaitu pemujaan terhadap like, follower, atau subscriber. Apalagi lingkungan di dunia nyata telah mengaminkan tragedi ini. Saya pernah membaca sebuah artikel bahwa ada sebuah komunitas di mana syarat untuk bergabungnya adalah mempunyai 10 ribu pengikut Instagram.
Ini menjadi fenomena yang segar di mana ketenaran seseorang juga dinilai untuk bisa dihargai. Orang-orang lebih senang bertanya, “Berapa pengikutmu di Twitter?” daripada bertanya, “Bagaimana kita bisa menghentikan pemanasan global sekarang ini?”.
Fenomena ini semakin menjadi-jadi karena melalui media sosial, kita menjadi begitu mudah untuk memuji-muji secara berlebihan. Iya dong, kita cukup menekan like, menaruh emoticon, atau menulis komentar dengan jempol kita.
Ini, kan jadi ironi, ya. Sekarang bukan hanya kata dari mulut saja yang pedas; kata-kata yang keluar dari jari pun juga tak kalah pedasnya. Buktinya, ilmu psikologi telah memasukkan nama “Perundungan Siber” ke daftar “kurikulumnya”.
Perundungan di media sosial menjadi begitu mudah karena setiap orang bisa menggunakan akun tanpa identitas asli. Sumber