Berita
Mampukah Kampus Merdeka Melawan “Employee Mindset” di Kalangan Mahasiswa?
- 8 February 2021
- Posted by: webmaster
- Category: artikel widuri

Teruntuk para dosen, coba tanyakan kepada mahasiswa yang baru masuk perguruan tinggi tentang “apa tujuan mereka belajar dan menjadi seorang sarjana”.
Anda pasti akan dibuat kaget dengan jawaban mereka yang “nyaris” hampir seragam, hanya cara ngomongnya yang berbeda.
Mereka semua ingin menjadi employee atau menjadi pekerja di sebuah perusahaan, atau di lembaga pemerintahan dan semacamnya. Kalau pun ada jawaban yang berbeda dari itu, sangat tidak signifikan jumlahnya.
Tentu saja tidak ada yang salah dengan jawaban para mahasiswa baru ini. Sangat lumrah, setelah selesai sekolah dan mendapatkan selembar ijazah sebagai pengakuan bahwa mereka disebut sebagai “sarjana”, dan menjadi tiket untuk bisa mendapatkan sebuah pekerjaan. Lalu, mereka bekerja mendapatkan gaji setiap bulan untuk menlanjutkan kehidupan.
Tetapi, ini menjadi problem besar bagi negeri ini kalau semua sarjana atau lulusan perguruan tinggi itu hanya sekadar menjadi seorang employee dan bukan menjadi entrepreneur atau pengusaha/wirausaha yang mampu menciptakan pekerjaan. Efeknya akan menciptakan banyak pengangguran ketika pertumbuhan lapangan pekerjaan jauh ketinggalan di belakang ketimbang jumlah yang mencari pekerjaan.
Dilansir dari BPS – Badan Pusat Statistik tentang pengangguran di Indonesia mencapai angka 9,77 juta orang pada Agustus 2020, yang menaik sekitar 2,67 juta dibanding tahun sebelumnya. Dan data menjelaskan TPT atau pengangguran terbuka dengan lulusan Diploma I hingga III sebesar 8,08 %, strata I- 7,35 %, SMK sebesar 13,55 %, SMA-9,86 %, SMP-6,46 %, dan lulusan SD-3,61 %.
Sudah lama dan publik paham kalau pengangguran sarjana sangat serius di Indonesia dan menjadi masalah akut terkait dengan pola dan sistem pendidikan tinggi yang selalu berganti ketika rezim maupun pejabat berganti.
Dan kini Mendikbud yang baru Nadiem Makarim pun melakukan perubahan lagi dengan MBKM-nya, yaitu Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka. Sebuah ikon pengikat perubahan yang sedang dikerjakan sang Mas Menteri ini.
Kini sudah setahun MBKM ini diluncurkan, dan terus saja muncul paket kebijakan yang entah kapan akan berakhir dan fokus untuk mengendalikan implementasinya di dalam proses pembelajaran di ruang-ruang kuliah.
Kini pertanyaan seriusnya adalah, mampukah MBKM melawan dan mengikis habis mentalitas mencari kerja atau employee mindset di kalangan mahasiswa?
Dengan beban belajar yang memuat hingga 147 SKS bagi strata-1 dengan durasi paling cepat 4 tahun, rasanya kok tidak mudah ya. Apalagi dalam waktu singkat, rasanya mimpi untuk mengubah mahasiswa keluar dari “jebakan employee mindset”.
Bagi pengelola perguruan tinggi tidak mudah mengubah begitu saja semuanya. Karena terikat dengan semua tatanan hukum, aturan dan organisasi yang mengikat eksistensi setiap perguruan tinggi itu sendiri. Sementara seluruh kebijakan yang ditelurkan terus menerus masih belum mampu mengubah wajah sistem ke arah yang diinginkan oleh sang Menteri.
Akibatnya, jadilah seperti yang lalu dan yang terdahulu. Kebijakan lebih banyak menjadi sensasi saja tetapi tidak terjadi perubahan yang mendasar. Dan bahkan mungkin setiap perguruan tinggi sangat disibukkan dengan mengantisipasi agar lembaganya tidak melanggar segala macam ketentuan yang ada. Dan nampaknya lupa tentang output yang harus menjadi tujuan besar yaitu “lulusan” perguruan tinggi itu sendiri.
Kembali kepada employee mindset yang mengakar dan karatan di kalangan mahasiswa, harusnya menjadi concern kunci para pelaku proses pembelajaran. Utamanya sang dosen sendiri sebagai ujung tombak perubahan. Dituntut keberanian ekstra dari setiap dosen untuk melakukan terobosan, kreatif dan inovasi agar setiap tatap muka yang dilakukan menjadi pintu perlawanan employee mindset di kalangan mahasiswa.
Persoalan mindset ini menjadi peperangan dalam mengubah perilaku mahasiswa agar berubah ke entrepreneur mindset. Sebab sesungguhnya, entrepreneur mindset merupakan salah jiwa atau substansi dari kebijakan Mas Menteri Nadiem Makarim. Menargetkan agar mahasiswa setelah lulus tidak lagi sibuk mencari pekerjaan, tetapi sibuk menciptakan peluang kerja. Bukan sibuk mencari gaji bulanan tetapi concern memberikan gaji kepada karyawan.
Employee Mindset Versus Entrepreneur Mindset
Mengubah perilaku dengan mengandalkan peraturan dan seabreg ketentuan lainnya tidak banyak menolong. Kalau pun terjadi perubahan perilaku itu sifatnya sementara saja. Karena perubahan perilaku itu ditentukan langsung oleh mindset seseorang. Artinya, cara berpikirlah yang menentukan perilaku. Dan oleh karenanya, maka yang harus diubah dan direvolusi adalah mindset-nya.
Bila mahasiswa masih tetap memiliki employee mindset, maka tidak pernah akan berusaha untuk menjadi seorang entrepreneur dalam hidupnya. Tetapi, ketika cara berpikirnya sebagai seorang wirausaha, maka perilakunya pasti mengarah pada cara seorang pengusaha mengelola hidupnya, yang dipastikan jauh dari mentalitas sebagai karyawan yang hanya mencari kerja dan gaji semata.
Dalam praktek ada banyak kesalahan pemahaman tentang mindset entrepreneur itu. Dalam artikel berjudul Employee Mindset vs Entrepreneur Mindset (2020), Munna Prawin menegaskan bahwa “Anda tidak harus menjadi seorang CEO startup atau bahkan memiliki bisnis sendiri untuk menjadi seorang entrepreneur, tetapi pola pikir kewirausahaan adalah salah satu yang menarik kesuksesan dalam hidup. Walaupun harus dimengerti bahwa, penting untuk diperhatikan bahwa tidak ada yang salah dengan menjadi karyawan”.
Entrepreneur berkaitan dengan kekuatan mimpi, merancang, meluncurkan, dan mengelola bisnis baru. Memiliki visi dan kemampuan kepemimpinan untuk mengubah ide bisnis menjadi sesuatu yang nyata dalam dunia pratis.
Dan kendati tidak semua orang memiliki kemampuan atau pun kemauan untuk menjadi seorang entrepreneur, namun sesungguhnya semuanya itu dimulai dengan pola pikir yang benar, karena tanpanya, Anda tidak akan sukses dalam bisnis.
Kesimpulan studi menjelaskan bahwa kalau dalam satu negara terdapat 2,5% populasinya memainkan peran sebagai entrepreneur, maka kemajuan bahkan tergolong sebagai negara maju.
Kemajuan dalam segala aspek akan terus terjadi bagai deret ukur kalau jumlah wirausaha terus menerus meningkat. Sebaliknya, negara-negara miskin dan terbelakang karena masyarakatnya sangat minim orang-orang yang memiliki entepreneur mindset.
Tentu saja tidak ada yang salah apabila setiap orang hendak menjadi employee atau entrepreneur, karena itu pilihan. Kedua jalur tersebut dapat memberikan hasil dan manfaat yang memuaskan jika seseorang beroperasi di zona nyaman.
Luangkan waktu untuk melakukan inventarisasi diri dan dengan jujur menilai tidak hanya bidang karier apa yang harus dikejar, tetapi bagaimana cara mengejarnya.
Sebagai karyawan di bawah struktur yang sudah ditentukan sebelumnya atau Anda sebagai wirausahawan sebagai tempat mengatur panggung untuk melakukan berbagai hal dengan cara Anda sendiri.
Sebab, sesungguhnya setiap orang harus menyadari bahwa hidup ini harus diisi dengan hal baik dan menghasilkan bahkan memberikan pertumbuhan dan dampak yang signifikan. Tidak saja bagi diri sendiri, tetapi terlebih bagi orang lain, komunitas dan masyarakat bahkan negara dan bangsa sekaligus.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Steve Jobs, seorang entrepreneur besar di abad 21, bahwa “Pekerjaan Anda akan mengisi sebagian besar hidup Anda, dan satu-satunya cara untuk merasa puas sepenuhnya adalah melakukan apa yang Anda yakini sebagai pekerjaan hebat dan satu-satunya cara untuk melakukan pekerjaan hebat adalah dengan mencintai apa yang Anda lakukan.”