Berita
“Kritik terhadap Kampus Merdeka”
- 19 May 2021
- Posted by: webmaster
- Category: artikel widuri

Dunia pendidikan tinggi yang berkembang dinamis di era Revolusi Industri 4.0 membutuhkan terobosan yang transformasional dan fundamental. Gagasan ini diberikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim dengan kebijakan merdeka belajar di lingkup perguruan tinggi dengan tajuk Kampus Merdeka. Hal ini diorientasikan agar sistem belajar menjadi lebih merdeka, fleksibel, dan mendukung keberagaman dalam belajar.
Kampus Merdeka memiliki beberapa kebijakan. Pertama, otonomi bagi perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS) untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi) baru. Kedua adalah program reakreditasi yang bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi serta prodi yang sudah siap naik peringkat. Mendatang, akreditasi yang sudah ditetapkan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) tetap berlaku selama lima tahun, namun akan diperbarui secara otomatis. Evaluasi akreditasi akan dilakukan BAN-PT jika ditemukan penurunan kualitas yang meliputi pengaduan masyarakat dengan disertai bukti yang konkret dan dapat dipertanggungjawabkan serta penurunan tajam jumlah mahasiswa baru yang mendaftar dan lulus dari prodi ataupun perguruan tinggi.
Ketiga, kebebasan bagi PTN badan layanan umum (BLU) dan satuan kerja (satker) untuk menjadi PTN badan hukum (PTN BH). Kemendikbud akan mempermudah persyaratan PTN BLU dan satker untuk menjadi PTN BH tanpa terikat status akreditasi.
Kebijakan keempat yang menjadi kritik dari kami adalah pemberian hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar prodi dan melakukan perubahan definisi satuan kredit semester (SKS). Perguruan tinggi wajib memberikan hak bagi mahasiswa secara sukarela. Jadi, mahasiswa boleh mengambil ataupun tidak SKS di luar kampusnya sebanyak 2 semester atau setara dengan 40 SKS. Ditambah, mahasiswa dapat mengambil SKS di prodi lain di dalam kampusnya sebanyak satu semester dari total semester yang harus ditempuh. Sehingga jika mahasiswa menyelesaikan kuliah dalam delapan semester, mahasiswa dapat hanya mengambil lima semester dalam prodinya dan mengambil tiga semester di luar prodi. Pengecualiannya, itu tidak berlaku pada prodi kesehatan.
Kritik tentu akan muncul. Antara lain, pertama, dibutuhkan suatu sinkronisasi data untuk menunjang administrasi mahasiswa. Soal presensi dan mata kuliah yang diambil dari prodi lain, bahkan universitas lain, akan mempersulit administrasi akademik mahasiswa. Ditambah lagi, penentuan nilai yang standarnya bisa berbeda antaruniversitas. Misalnya, ada universitas dengan nilai di atas 75 bisa mendapatkan nilai A, pada universitas lain nilai 75 saja sudah bisa mengantongi nilai A. Kemudian, ada universitas yang menggunakan standar nilai BC, sedangkan di universitas lain tidak ada atau hanya ada nilai B dan C.
Kedua, dibutuhkan pemahaman terhadap pengantar mata kuliah dalam suatu prodi. Misalnya, mahasiswa dari ilmu sosial dan politik kemudian pada semester VI ingin mengikuti kuliah pada fakultas hukum akan kesulitan karena belum memiliki pemahaman dasar mengenai pengantar ilmu hukum. Atau yang lebih mendekati, mahasiswa prodi ilmu hubungan internasional jika ingin mengikuti kuliah prodi antropologi juga harus memahami dulu dasar-dasar antropologi. Apakah memungkinkan mahasiswa pada semester VI jika mengambil mata kuliah lain lintas jurusan harus mengambil mata kuliah dasar pada jurusan tersebut? Poin inilah yang menjadi tantangan untuk merumuskan mata kuliah apa yang bisa diambil mahasiswa lintas ilmu.
Ketiga adalah kesulitan dalam menentukan kompetensi mahasiswa yang mengambil mata kuliah lintas prodi atau bahkan lintas fakultas. Sedangkan di dalam visi, misi, dan capaian pembelajaran pada masing-masing prodi sudah ditentukan bahwa mahasiswa mampu menguasai bidang ilmu tertentu dan menjadi profesional pada bidang keilmuan masing-masing. Jika kebijakan keempat dari Kampus Merdeka diterapkan, dikhawatirkan kompetensi lulusan menjadi tidak spesifik sesuai dengan keilmuannya. Lain lagi jika misalnya mahasiswa diperbolehkan mengambil mata kuliah pada prodi lain yang memiliki rumpun ilmu yang sama. Hal ini masih bisa terjadi sebagai mata kuliah pilihan mahasiswa untuk saling sapa antarbidang ilmu serumpun.
Menurut Ignas Kleden, ilmu dibagi menjadi tiga berdasar sifat dan jenis ilmu, yaitu ilmu alam, ilmu sosial, dan humaniora. Tiga jenis tersebut memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam mencari apa yang disebut kebenaran ilmiah. Secara garis besar, di Indonesia ilmu dibagi menjadi dua jenis, yaitu ilmu alam (eksakta) dan ilmu sosial (humaniora termasuk di dalamnya). Ilmu eksakta terbiasa menggunakan paradigma positivistik dengan pendekatan kuantitatif.
Sedangkan ilmu sosial dapat menggunakan antara positivistik maupun post-positivistik dengan pendekatan kualitatif dan keduanya adalah hal yang berbeda. Kemudian, menurut Jujun S. Sumantri, objek ilmu alam yang dipelajari adalah segala jenis objek empiris yang ada di alam semesta, sedangkan ilmu sosial mempelajari perilaku manusia dan hubungannya dengan individu atau kelompok lainnya.
Tidak menutup mata, secara filosofis kebijakan Kampus Merdeka sangat bagus dengan membuka kotak sekat keilmuan dalam suatu prodi. Harapannya, mahasiswa memahami ilmu lintas disiplin yang dapat meningkatkan kemanfaatan dari ilmu yang mereka pelajari sebelumnya.
Seperti dicatatkan oleh Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko sebagai universitas tertua di dunia yang melandaskan pembelajaran lintas ilmu terpadu dengan masjid sebagai pusatnya. Akan tetapi, dari segi administratif akademik, diperlukan kajian lebih mendalam pada prodi serumpun yang memungkinkan untuk adanya kemerdekaan belajar lintas ilmu, termasuk menyiapkan perangkat penunjangnya. Sehingga mahasiswa tidak hanya dijadikan objek, tetapi fokus utama pendidikan itu sendiri, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.