Berita
“Kebebasan Akademik dan Etika”
- 4 March 2021
- Posted by: webmaster
- Category: artikel widuri

Kebebasan berpendapat telah menjadi jargon yang dijunjungi tinggi masyarakat di negaranegara demokrasi. Kebebasan menjadi nilai penting sehingga layak dijaga dan diperjuangkan. Namun dalam praktik, kebebasan berpendapat menjadi problematik karena bersinggungan dengan etika publik. Bagaimana mengatasi problematika itu dalam perspektif filosofis Kampus Merdeka?
Secara historis, kebebasan berpendapat telah dianggap berharga sejak awal Indonesia merdeka. Hal itu dibuktikan dengan jaminan bebas berpendapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan secara kultural, kebebasan berpendapat telah mendapat ruang dalam praktik kolektif bangsa Indonesia jauh-jauh hari sebelumnya. Nasihat-nasihat tentang menghormati pendapat orang lain diabadikan dalam pepatah, tembang, dan artefak budaya lainnya.
Namun demikian, kebebasan berpendapat merupakan konsep yang dinamis. Makna terhadapnya terus diperbarui sesuai semangat zaman dan perkembangan intelektual masyarakat. Dalam konteks kekinian misalnya, kebebasan berpendapat perlu didudukkan dalam kaitannya dengan etika akademik, harmoni sosial, juga ketahanan nasional. Pemaknaan ulang diperlukan agar konsep itu hidup pada konteks ruang dan waktu yang relevan.
Pemaknaan ulang atas konsep kebebasan berpendapat juga harus dibumikan pada ruang budaya tempatnya hidup. Meski terinspirasi dari humanisme Barat, kebebasan berpendapat harus disesuaikan dengan konteks kebangsaan Indonesia. Sebab, berbeda dengan pandangan masyarakat Barat yang cenderung liberal, masyarakat Indonesia memandang kebebasan berada pada ruang personal dan sosial. Karena itulah kebebasan dan tanggung jawab sosial tidak bisa dipisahkan.
Bangsa Indonesia menjunjung tinggi dualisme manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Oleh karena itu, ukuran kebaikan tindakan manusia diperhitungkan berdasarkan implikasi personal dan sosialnya sekaligus. Kebebasan berpendapat juga demikian. Konsep itu dianggap bermakna atau bernilai sejauh memberi maslahat bagi orang per orang sekaligus masyarakat.
Dalam konteks mutakhir di Indonesia, kebebasan berpendapat sering digunakan sebagai dalih bagi kepentingan individu untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan dalih itu pendapat pribadi seseorang coba dilegitimasi legalitas dan moralitasnya meski sebenarnya tidak selaras dengan kepentingan publik dan republik.
Banyaknya kasus ujaran kebencian adalah gejala yang mengindikasikan hal tersebut. Menurut Polri, pada periode Januari-Juni 2019 terdapat 675 kasus ujaran kebencian. Jumlah tersebut berfluktuasi, namun cenderung naik pada momen-momen tertentu. Pada momentum tertentu itulah kebebasan berpendapat menjadi tameng bagi individu tertentu untuk mengekspresikan kebenciannya.
Kondisi itulah yang membuat kebebasan berpendapat harus dimaknai ulang. Konsep itu tidak boleh dibajak oleh sekelompok orang yang berusaha memanfaatkan untuk kepentingan individu. Pemaknaan ulang perlu dilakukan dalam kerangka etis dan logis yang relevan dengan kondisi masyarakat saat ini.
Ada tiga kondisi yang patut jadi pertimbangan dalam usaha memaknai ulang konsep kebebasan berpendapat.
Pertama, kondisi mental publik. Ada kecenderungan masyarakat mulai jengah terhadap kebebasan saat ini. Hal ini terjadi karena pasca-Reformasi 1998 kebebasan telah dimanfaatkan secara eksploitatif. Euforia kebebasan berpendapat yang awalnya produktif berubah menjadi kontraproduktif karena menerabas nilai-nilai dasar masyarakat. Hoaks, ujaran kebencian, dan fakenews merupakan sebagian kecil dari dampak eksploitasi tersebut. Oleh karena itu, masyarakat cenderung menginginkan kebaruan konsep yang meletakkan kebebasan berpendapat y a n g selaras dengan nilai-nilai dasar bangsa seperti harmoni, saling menghormati, dan menjunjung persatuan nasional.
Kondisi kedua adalah perkembangan teknologi. Berbeda dengan 22 tahun lalu ketika Reformasi bergulir, teknologi informasi dan komunikasi saat ini berkembang sangat pesat. Saluran-saluran informasi tidak hanya dikuasai negara dan korporasi, tetapi terdistribusi ke tingkat individu. Dengan distribusi demikian, orang per orang bisa menimbulkan kerusakan sosial yang sama besarnya dengan korporasi besar. Jika kebebasan tak terbatas diberikan kepada individu, dikhawatirkan muncul akibat negatif yang sulit ditanggunglangi. Oleh karena itu, individu harus diedukasi melalui pemaknaan ulang kebebasan berpendapat yang baru.
Ketiga, kondisi geoplitik internasional. Gerakan radikal transnasional telah terbukti memanfaatkan kebebasan berpendapat sebagai dalih menginfiltrasikan ideologi mereka ke Indonesia. Melalui media massa dan media sosial, kelompok ini menyebarkan pandangan yang cenderung anti- NKRI. Ketika usaha mereka dicegah, mereka berlindung di balik kebebasan berpendapat. Padahal, usaha-usaha mereka berpotensi menimbulkan kerusakan fundamental bagi bangsa dan negara ini.
Tiga kondisi di atas menunjukkan bahwa pemaknaan ulang atas kebebasan berpendepat mendesak untuk dilakukan. Di perguruan tinggi, pemaknaan ulang perlu menjadi bagian dari pelaksanaan kebijakan Kampus Merdeka yang kini sedang digelorakan Mendikbud Nadiem Makarim. Jangan sampai konsep merdeka dalam kebijakan tersebut direbut pihak yang kurang bertanggung jawab untuk dijadikan dalih mengekspresikan kebencian.