Berita
SEMIOTIKA SOSIAL SEBAGAI ALAT ANALISIS TEKS DALAM PENELITIAN KOMUNIKASI KUALITATIF
Oleh Hasyim Ali Imran *
Tulisan ini membahas tentang penelitian komunikasi dengan pendekatan kualitatif yang difokuskan pada teks sebagai subyek penelitian. Tulisan diarahkan pada contoh bentuk praktik penerapan metode analisis teks yang mengacu pada metode semiotika sosial versi MAK Halliday. Secara akademik tulisan ini diharapkan berkontribusi bagi kemudahan mahasiswa dalam mempraktikkannya.
Secara epistemologis, dalam penelitian komunikasi dengan pendekatan kualitatif, diketahui sebenarnya memiliki banyak perangkat alat analisis, baik itu terhadap yang berbasiskan ‘field’ maupun pada riset yang berbasiskan “teks”.
Sementara dari segi Sarana Wacana (mode of discourse), untuk mengetahui bagian yang diperankan oleh bahasa: bagaimana komunikator (media massa) menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat (orang-orang yang dikutip). Bagi keperluan praktis, kandungan tersebut memberikan implikasi apa? (diantaranya yaitu berupa makna, citra, opini dan motif).
Dari hasil pemaparan sebelumnya diketahui bahwa penelitian komunikasi dengan pendekatan kualitatif memiliki variasi dalam hal metode. Namun varian metode dimaksud, secara sederhana, setidaknya menurut versi sumber data (subyek penelitian), varian tadi terkelompokkan pada dua domain, pertama pada metode yang pas berbasiskan pada “field” dan kedua berbasiskan pada “teks”.
KEBEBASAN PERS DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI DAN EKONOMI POLITIK MEDIA
Oleh Joko Martono*
Kebebasan pers di Indonesia dijamin dalam UU No.40 Tahun 1999. Berbagai pasal yang berkait kebebasan pers secara substansial terkandung makna bersifat universal dan cenderung liberal. Bagi para pengusaha, keberadaan institusi media dipandang sebagai lahan bisnis mendatangkan keuntungan.
Di zaman Orde Baru, Indonesia memasuki peralihan zaman, penyelenggaraan pemerintahan yang lebih fokus dengan paradigma pembangunan (ekonomi) ternyata juga ikut mempengaruhi kehidupan pers. Bahkan keberadaan pers telah disubordinasikan ke dalam sistem politik dan pemerintahan sehingga setiap lembaga komunikasi termasuk media massa cenderung diarahkan sejalan dengan kebijakan politik yang sedang berlangsung. Pada masa ini, regulasi di bidang pers ditemui dengan perubahan perundangan yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers.
Menurut Abrar (1992:64-65), sebagai akibat dari globalisasi informasi, kita melihat semakin banyak orang beranggapan bahwa pers adalah komoditas ekonomi semata. Pilihan informasinya diarahkan kepada hal-hal yang disukai pembaca dan cocok dengan pemerintah. Dari sini bisa diasumsikan bahwa keberadaan profesionalisme wartawan menjadi terancam. Penghargaan terhadap profesionalisme wartawan hanya sebatas ekonomi praktis. Bila wartawan sudah menghasilkan informasi yang laku dijual dan pers bersangkutan tidak mendapat teguran pemerintah, hal itu dianggap sudah cukup.
Kebebasan pers di era reformasi ternyata telah didistorsi oleh kalangan pengelola perusahaan media, terutama media massa swasta/ komersial. Kebebasan pers yang telah dijamin melalui regulasi cenderung ditafsirkan sepihak, hanya untuk memenuhi kepentingan yang berorientasi profit.
Pada bagian lain perlu dipahami, terutama bagi pengelola perusahaan media ketika memandang keberadaan media/pers sebagai lahan bisnis tentunya akan berimplikasi terhadap cara yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan maupun kepentingan yang bersifat ekonomis.
INTEGRASI PROGRAM MARKETING DAN PUBLIC RELATIONS UNTUK MEMENANGKAN PERSAINGAN
Oleh Yerah Melita*
Marketing Public Relations (MPR) merupakan konsep atau disiplin pemasaran yang relatif baru, yaitu muncul tahun 1990-an. Konsep MPR ini muncul untuk melengkapi dan mengisi dari masing-masing peran baik marketing maupun public relations sehingga tujuan pemasaran diharapkan lebih berhasil.
Di era globalisasi dimana persaingan dalam dunia usaha semakin tajam maka perusahan dengan segenap sumber daya yang dimilikinya dituntut untuk lebih efektif dan efisien dalam berbagai hal. Salah satu upaya untuk mewujudkan efektifitas dan efisiensi tersebut adalah dengan mengintegrasikan berbagai program.
Jika dilihat sejarahnya, sudah sejak era 1950an muncul konsep-konsep pemasaran seperti marketing mix, product life cycle, brand image, market segmentation, marketing concept (sebagai lawan production concept), dan marketing audit. Kemudian, pada era 1960-an ditandai dengan lahirnya klasifikasi 4 P dari konsep Marketing Mix, Marketing Myopia, Lifestyles, dan pengembangan konsep – konsep pemasaran. Pyramid Selling dan Party Selling, yang telah sukses dari rumah ke rumah juga merupakan konsep yang lahir tahun 1960-an.
PENGGUNAAN MEDIA DI LINGKUNGAN APARATUR PEMERINTAH
Oleh H. Muhammad Rustam*
Penelitian ini fokus pada gejala penggunaan media komunikasi di kalangan aparat pemerintah. Pemfokusan didasari oleh perkembangan media konvergensi.
Variasi pilihan individu menggunakan medium komunikasi saat ini semakin banyak sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan IPTEK. Ini ditandai oleh munculnya media konvergensi sebagai salah satu out put dari pertumbuhan dan perkembangan IPTEK tadi.
Sejalan dengan masalah penelitian yang difokuskan pada upaya menemukan gejala penggunaan media komunikasi di lingkungan aparat pemerintah di Kecamatan Daruka, Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara maka bagian ini akan memaparkan hasil-hasil dimaksud.
PELAYANAN PEKERJA SOSIAL MEDIS BAGI PASIEN YANG MENGALAMI MASALAH BIAYA DI BAGIAN PELAYANAN PASTORAL SOSIAL MEDIS, PELAYANAN KESEHATAN SINT CAROLUS (PKSC)
Oleh Sr. Theresia Endang Hendres Yudayanti*
Pekerjaan sosial di rumah sakit merupakan praktek pekerja sosial dalam membantu memecahkan masalah psikososial orang sakit berkaitan dengan proses penyembuhan penyakit di rumah sakit. Penelitian ini akan menjelaskan tentang proses pelayanan pekerja sosial bagi pasien yang mengalami masalah biaya.
Masalah orang sakit menjadi sangat kompleks jika orang sakit tersebut harus dirawat di rumah sakit. Selain masalah sakit penyakit yang diderita secara fisik, seorang pasien dapat pula mengalami masalah-masalah lain seperti masalah ekonomi, masalah keluarga dan masalah perilakunya.
Proses pelaksanaan pelayanan pekerja sosial di PKSC diawali dengan penjangkauan klien atau terhubungnya klien dalam hal ini pasien dan keluarganya dengan pekerja sosial. Pasien yang memiliki masalah sosial dapat terhubung dengan pekerja sosial setelah pasien tersebut dikonsulkan oleh petugas ruang perawatan, bagian PARP, UGD dan juga ada yang datang sendiri.
Sekalipun profesi pekerja sosial bukanlah profesi utama di bidang pelayanan kesehatan tetapi keterlibatan pekerja sosial dalam menangani masalah sosial pasien sehubungan dengan proses penyembuhan pasien di rumah sakit sangat dibutuhkan. Pekerja sosial medis dalam melaksanakan perannya di lembaga pelayanan kesehatan berkolaborasi dengan anggota tim dari staf profesi lain yaitu tim medis, para medis dan non medis. Dalam pelayanannya ini pekerja sosial medis berperan sebagai konselor, penghubung, konsultan, mediator dan motivator untuk membantu menangani pasien yang mengalami masalah sosial seperti: pasien tidak ada penanggung jawab atau penanggung jawab pasien tidak jelas, pasien tidak ada yang menjaga atau membesuk, ada keluhan dari keluarga atau penanggung jawab pasien, tagihan rekening sementara tidak ditanggapi, menolak tindakan medis, pasien memerlukan perawatan lama atau serius, serta pasien memerlukan perawatan atau tindakan medis yang mahal.
TEORI KODE-KODE BERBICARA
Oleh Rukman Pala*
Artikel ini secara substantif memaparkan Teori Kode-Kode Bicara dari Gerry Philipsen. Secara ringkas hal ini meliputi latar belakang lahirnya teori, substansi Teori Kode Berbicara; bentuk/penampilan etnografi; kritik terhadap teori; dan kesimpulan. Hasil pembahasan memperlihatkan salah satu dari lima inti teori itu yaitu terkait dengan dalil yang dinyatakannya dalam bentuk proposisi, bahwa “di mana ada suatu perbedaan budaya, di sana akan ditemukan kode berbicara yang berbeda pula”. Memetik makna dalil dimaksud dalam kaitannya dengan sejumlah contoh kasus tentang bekerjanya Teori Kode-Kode Berbicara dalam realitas kehidupan sehari-hari sebelumnya, maka ini menandakan bahwa bagi bangsa Indonesia teori ini sebenarnya dapat menjadi penegas dan petunjuk praktis bagi setiap individu dari suatu komunitas etnis bangsa Indonesia dalam berkomunikasi lintas budaya agar terwujudnya harmonisasi.
Etnografi merupakn metode riset yang menempatkan keutamaan dalam menemukan maksud/arti bahwa orang-orang berbagi dengan saling memberikan kebudayaan. Sebagai contoh, pendekatan interaksi simbolis, yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
https://pa-barru.go.id/kasus/
https://sman53jkt.sch.id/53/
https://pta-padang.go.id/po-includes/js/elid/?PTAP=Slot%20Gacor
https://mi.pta-padang.go.id/sekuritas/?mitigasi=Mawartoto
https://conceitho.com/pela/?sobre=Slot%20Gacor
https://yjhallalathur.com/auditorium/?arapuzha=Slot%20Gacor
https://www.lorencini.com.br/ole/
https://multcont.com/
https://ojs.uscnd.ac.id/
https://mail.pta-padang.go.id/public/
https://lpm.uscnd.ac.id/
https://yastisgl.or.id/?yasglid=Slot%20Gacor