Berita
Jika Kamu Menginginkan Perdamaian, Bersiaplah Untuk Perang Si Vis Pacem, Para Bellum: Asal-Usul dan Makna
- 29 May 2023
- Posted by:
- Category: artikel widuri

Oleh : Iwan Setiawan SE, M.I.Kom
Dosen Ilmu Komunikasi STISIP Widuri
Kata-kata “Si vis pacem, para bellum” adalah ungkapan dalam bahasa Latin yang secara harfiah berarti “Jika kamu menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang.” Ungkapan ini mencerminkan konsep penting dalam hubungan internasional dan filosofi politik yang memiliki sejarah yang panjang.
Asal-Usul:
Ungkapan ini berasal dari karya Latin yang disebut “Epitoma Rei Militaris” (Epitome of Military Science) yang ditulis oleh seorang ahli militer Romawi bernama Publius Flavius Vegetius Renatus pada abad ke-4 Masehi. Vegetius merupakan seorang penulis yang memiliki minat dalam ilmu militer dan menyajikan prinsip-prinsip dasar mengenai latihan dan taktik militer dalam karyanya. “Si vis pacem, para bellum” adalah salah satu ungkapan yang dikemukakan oleh Vegetius untuk menjelaskan pentingnya kesiapan perang dalam mencapai perdamaian yang sejati.
Makna Filosofis:
Ungkapan ini melambangkan pandangan realis dalam hubungan internasional yang menekankan perlunya keseimbangan kekuatan dan persiapan militer untuk mempertahankan kedaulatan dan keamanan nasional. Pandangan ini berasumsi bahwa negara-negara harus siap untuk melindungi diri mereka sendiri dan menghadapi ancaman yang mungkin timbul. Dalam konteks ini, “Si vis pacem, para bellum” mengandung makna bahwa perdamaian yang sejati dan tenteram hanya dapat dicapai melalui kekuatan militer yang cukup untuk membendung ancaman atau serangan.
Namun, makna ungkapan ini telah menjadi sumber perdebatan dan penafsiran yang beragam. Beberapa penafsir berpendapat bahwa “Si vis pacem, para bellum” adalah peringatan terhadap kenyataan pahit bahwa kekuasaan dan kekerasan seringkali menjadi faktor penting dalam mencapai dan mempertahankan perdamaian. Ungkapan ini menyoroti kontradiksi antara tujuan perdamaian dan realitas politik yang sering kali memunculkan konflik dan perang.
Di sisi lain, kritikus memandang “Si vis pacem, para bellum” sebagai pandangan yang terlalu fatalistik dan mempromosikan siklus kekerasan yang tak terelakkan. Mereka berpendapat bahwa pendekatan yang lebih mengedepankan diplomasi, dialog, dan kerja sama multilateral adalah cara yang lebih efektif untuk mencapai perdamaian jangka panjang.
Dalam perkembangannya, ungkapan “Si vis pacem, para bellum” telah menjadi semacam semboyan atau moto yang digunakan dalam berbagai konteks, termasuk dalam militer, politik, dan bahkan budaya populer. Penggunaan ungkapan ini seringkali bertujuan untuk menekankan pentingnya penggunaan kekuatan dan persiapan yang matang sebagai upaya untuk mencegah konflik atau memastikan keberhasilan dalam mencapai tujuan tertentu.
Namun, penting untuk diingat bahwa pemahaman tentang hubungan antara kekuatan dan perdamaian telah berkembang seiring waktu. Banyak teori dan pendekatan lain dalam studi hubungan internasional telah muncul, yang menekankan pentingnya diplomasi, kerja sama, dan penyelesaian konflik secara damai. Pandangan-pandangan ini mencoba untuk melampaui logika perang sebagai satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan.
Dalam dunia yang semakin terhubung secara global, upaya-upaya untuk mencapai perdamaian dan stabilitas internasional telah mengarah pada perkembangan organisasi dan forum internasional, seperti PBB, yang bertujuan untuk mendorong dialog, negosiasi, dan resolusi damai dalam menangani konflik dan tantangan global.
Penting untuk melihat ungkapan “Si vis pacem, para bellum” sebagai bagian dari warisan sejarah dan konteks filosofisnya. Sementara realitas politik dan kekuasaan masih menjadi faktor penting dalam hubungan internasional, pendekatan yang lebih holistik dan inklusif telah muncul untuk mencapai tujuan perdamaian yang berkelanjutan di tengah tantangan kompleks dunia saat ini.
Dalam kesimpulan, ungkapan “Si vis pacem, para bellum” menyoroti kompleksitas hubungan antara kekuatan dan perdamaian dalam konteks hubungan internasional. Meskipun realitas politik dan kekuasaan memiliki peran yang signifikan, pemahaman yang lebih luas tentang perdamaian telah menghasilkan pendekatan yang lebih beragam, yang mencakup diplomasi, kerja sama, dan resolusi konflik damai sebagai sarana untuk mencapai dan mempertahankan perdamaian jangka panjang.
Terkait dengan pengembangan pemikiran seputar ungkapan “Si vis pacem, para bellum,” beberapa teori dan pandangan filosofis lainnya juga telah memberikan kontribusi dalam memahami hubungan antara perang dan perdamaian. Di antaranya adalah:
Liberalisme: Pandangan liberal dalam hubungan internasional menekankan pentingnya demokrasi, kebebasan individu, dan institusi internasional dalam mencapai perdamaian. Mereka berargumen bahwa negara-negara demokratis cenderung menjalin hubungan yang lebih harmonis dan kurang cenderung terlibat dalam konflik. Liberalisme juga menganjurkan pendekatan diplomasi, penyelesaian konflik melalui dialog, dan kerjasama ekonomi sebagai cara untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan.
Konstruktivisme: Pendekatan konstruktivis menekankan pentingnya identitas, norma, dan konstruksi sosial dalam hubungan internasional. Mereka berpendapat bahwa persepsi dan interpretasi subjektif tentang kepentingan dan tujuan negara dapat membentuk perilaku dan interaksi antarnegara. Dalam konteks ini, konstruktivisme menawarkan pemahaman yang lebih luas tentang cara-cara untuk menciptakan perdamaian melalui perubahan norma dan konstruksi sosial yang lebih kooperatif dan inklusif.
Perdamaian Demokratik: Teori perdamaian demokratik menyatakan bahwa negara-negara demokratis cenderung menjaga hubungan yang damai di antara mereka. Argumen utama adalah bahwa negara-negara demokratis memiliki mekanisme internal yang melibatkan partisipasi publik, pemilihan yang bebas, dan pertanggungjawaban politik yang dapat menekan keinginan untuk berperang. Dengan demikian, mempromosikan demokrasi di seluruh dunia dianggap sebagai cara untuk mencapai perdamaian yang lebih luas.
Keamanan Kompleks: Teori keamanan kompleks mengkritik pandangan realisme tradisional yang menempatkan negara sebagai aktor utama dalam sistem internasional. Teori ini berargumen bahwa keamanan tidak hanya melibatkan negara, tetapi juga berbagai aktor non-negara seperti organisasi internasional, kelompok masyarakat sipil, dan lembaga regional. Dalam kerangka ini, kerjasama dan hubungan yang saling bergantung antara aktor-aktor ini dapat membantu menciptakan perdamaian dan mengurangi kemungkinan konflik.
Penting untuk menyadari bahwa teori dan pandangan ini memberikan perspektif yang berbeda dalam memahami hubungan antara perang dan perdamaian. Dalam praktiknya, mencapai perdamaian yang berkelanjutan melibatkan kombinasi dari pendekatan dan strategi yang kompleks, termasuk diplomasi, kerjasama ekonomi, penyelesaian konflik melalui dialog, membangun institusi internasional yang efektif, dan mendorong demokrasi dan hak asasi manusia.