Berita
Dinamika Intelektual Mahasiswa
- 26 February 2021
- Posted by: webmaster
- Category: artikel widuri

Sesungguhnya masa anak-anak atau remaja merupakan fase yang paling subur, paling panjang, dan paling dominan bagi seorang pendidik untuk menanamkan norma-norma yang mapan dan arahan yang bersih ke dalam jiwa dan sepak terjang anak-anak didiknya. Berbagai kesempatan terbuka lebar untuk sang pendidik dan semua potensi tersedia secara berlimpah dalam fase ini dengan adanya fitrah yang bersih, masa kanak-kanak yang masih lugu, kepolosan yang bergitu jernih, kelembutan dan kelenturan jasmaninya, kalbu yang masih berlum tercemari, dan jiwa yang masih belum terkontaminasi.
Keberhasilan pemuda termasuk mahasiswa dan masa depannya sangat tergantung bagaimana generasi muda memanfaatkan waktu untuk menampa diri dengan berbagai ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup dengan keterampilan dalam berbagai aspek. Karena pemuda akan hidup sesuai dengan kemajuan zamannya di masa yang akan datang. Di samping itu tantangan dan hambatan yang dihadapi generasi muda bukan persoalan sepele, namun mempunyai dampak puluhan tahun yang akan datang. Kegagalan dan ketidakmampuan mengelola potensinya, akan menyebabkan masa depannya terganggu. Bahkan bisa membawa dampak negatif yang lebih jauh.
Sebagai elit pemuda mahasiswa mestinya membakali diri dengan berbagai skil dan keterampilan, termasuk di dalamnya dalam bidang leadership-kepemimpinan, sebab mahasiswa akan menjadi tokoh di masa yang akan datang. Sebagaimana ungkapan subbanul yaum wa rajulul ghad-menjadi pemuda saat ini dan kelak akan menjadi tokoh masa yang aka datang. Sehingga sangat naif bila mahasiswa hanya sekedar mencari ilmu tanpa membekali dengan aneka keterampilan dalam mengembangkan potensi intelektual maupun jiwa mudanya.
Maka bila kita buat tipologi mahasiswa akan terbelah menjadi dua kelompok mahasiswa secara umum. Yang pertama kelompok mahasiswa yang hanya sekedar kuliah an sich dalam mengisi waktu dan kegiatannya. Dan kelompok mahasiswa yang kedua adalah mahasiswa yang terlibat aktiv dalam kehidupan dan dinamika intelektual organisasi mahasiswa.
Mahasiswa an sich hanya akan mendapatkan dari apa yang disampaikan dalam perkuliahan, dari tatap muka dan tugas mandiri yang secara konsisten dilaksanakan dengan baik. Bila mahasiswa ini mampu memenuhi standar kompetensi (SK) yang diajarkan dalam mata kuliah tersebut, mereka kelak akan ahli dalam mata kuliah yang dipelajari saja…selebihnya bisa mengembangkan diri melalui disiplin ilmu dengan melahap semua buku yang relevan dengan ilmu dan kegiatan yang berhubungan dengan keilmuan yang ditekuni saja. Type mahasiswa ini hanya akan menjadi sebagaimana ilmu yang dipelajari.
Mahasiswa aktivis akan mempunya banyak jaringan (net working) yang di kemudian hari akan menjadi modal dalam mengembangkan karir baik dalam dunia intelektual-mejadi pemikiran dan konseptor, maupun menjadi profisional dalam kecakapan dan keahlian tertentu sesuai bakat minatnya, seperti menjadi guru, menjadi dosen, menjadi hakim, menjadi advokat, menjadi profesional dalam perbankan dll. Mahasiswa aktivis pada hakikatnya adalah sedang melakukan investasi diri untuk menyiapkan sebagai kader bangsa, kader umat dan kader masa depan. Karena mereka tidak hanya asyik mengurus diri sendiri, tetapi peduli dan bisa mencurahkan perhatian yang berbeda dalam satu waktu, yaitu berpikir pragmatis tentang bagaimana kuliah cepat selesai dengan hasil maksimal dan pada saat yang sama menjadi organisastoris yang harus membagi waktu antara belajar dan mengurus organisasi. Maka hasil akhirnya tentu berbeda dan bobotnya akan lain dari hanya sekedar menjadi mahasiswa. Mahasiswa aktivis akan belajar leadership-kepemimpinan baik secara teoritik yang diajarkan dalam setiap pembekalan setelah dilantik menjadi pengurus melalui up grading organisasi, melalui diskusi-diskusi, rapat-rapat ketika akan mengambil keputusan organisasi, mereka juga belajar bagaimana menjalin komunikasi secara langsung dengan berbagai macam pemimpin sesuai dengan levelnya, bahkan bisa bertemu dengan tokoh-tokoh penting dalam dunia profesional maupun politik, yang itu semuanya akan memberi bekal yang signifikan dalam karir di masa yang akan datang.
Langkah-langkah strategis
Pertama, memperkuat tradisi membaca. Membaca, harus dijadikan ‘fardhu ain’. Sebab, kalau digeser menjadi ‘fardhu kifayah’, akan cenderung diwakilkan kepada yang lain. “Jadikan buku sebagai pacar pertama ,”
Kedua, adalah tradisi menulis. Tradisi ini harus dipaksa untuk bisa dilakukan semua kader. Menurutnya, tradisi menulis ini tidak perlu diganti dengan tradisi menulis SMS. “Menulis status di Facebook dan twitter penting, tetapi jangan sampai menggeser tradisi menulis,” berkarya, melakukan riset baik untuk kepentingan ilmiah, akademik maupun untuk kepentingan menjawab kegelisahan intelektual dimana realitas masyarakat tidak sama dengan idealitas yang kita citakan. Disinilah adanya kesenjangan yang bisa dijadikan sebagai upaya mencari pemecahan masalah yang ada di sekitar kita, sebagai bentuk tanggung jawab intelektual untuk memberikan solusi tersebut.
Sedangkan yang ketiga, adalah tradisi berdebat. tradisi rapat pengambilan kepetusan dan kebijakan organisasi diambil melalu diskusi dan kajian yang mendalam, sekalipun juga mengambil langkah yang stratetgis dan responsif, sehingga tidak hanya sekedar pembahasan yang dangkal, tradisi berdiskusi, tradisi kelompok studi, tradisi kajian, tradisi seminar, workshop, peningkatan kapasitas keahlian Namun, perlu disadari bahwa bahwa tradisi berdebat ini bukanlah berdebat secara kusir, tetapi debat yang akademik dan rasional.
Setelah lebih 10 tahun bangsa Indonesia berada dalam Orde Reformasi, gerakan mahasiswa tetap ada, tetapi tercerai berai dan dibusukkan oleh issu pesanan dan uang. Bahkan, ada gerakan yang terhipnotis ke parpol atau golongan, sehingga makna idealisme perjuangan mahasiswa mengalami degradasi. Padahal perjuangan mahasiswa barometer keberpihakan pada penderitaan dan keprihatinan rakyat.
Kontribusi pemikiran mahasiswa
Mestinya kaum intelektual, terutama lulusan perguruan tinggi bisa menjadi pelopor untuk hal-hal berikut ini. Pertama; mengembangkan kreativitas, kebudayaan, dan peradaban. Kedua; mendukung diseminasi nilai keunggulan. Ketiga; mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan, dan keagamaan. Keempat; menumbuhkembangkan secara berkelanjutan kinerja kreatif dan konduktif yang koheren dengan nilai-nilai moral. Singkatnya, dunia pendidikan tinggi harus menciptakan peluang bagi pembudayaan individu supaya kapasitasnya berkembang, terutama berkaitan dengan ”pemerdekaan”dari ”kebudayaan bisu”. Paulo Freire (1972) bahkan meyakini kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan, ketergantungan rakyat miskin, dan sebagainya lebih disebabkan oleh sistem dominasi ekonomi, sosial, dan politik.
Oleh karena itu mahasiswa disamping mempunyai kedalam ilmu yang menjadi sepesialisasi minat kajiannya yang tidak kalah mahasiswa harus mempunyai softskill sebagai seperangkat kemampuan yang mempengaruhi bagaimana seseorang bisa berinteraksi dengan orang lain. Secara garis besar softskill bisa digolongkan ke dalam dua kategori yaitu intrapersonal dan interpersonal skill. Intrapersonal skill mencakup self awarenes, self confiedent, self assessment, trait dan preference, emotional awareness dan self skill (improvemen, self control, trust, worthiness, time management, proactivity, conscience). Sementara interpersonal skill mencakup social awareness (Political awareness, developing others, leveraging diversity, service orientation, empathy) dan social skill (leadership, influence, communication, conflict management, cooperation, team work, synergy). Sumber